Minggu, 17 Juli 2011

KAMPUS

Jalanan di desa J rusak parah. Banyak yang ambhrol. Bukannya gimana, saban malam truk – truk pengangkut material berseliweran melewati jalan aspal desa. Ya, akan ada sesuatu yang akbar di desa J, sesuatu yang amazing! Ruas desa J bagian tenggara akan dijadikan kampus jurusan penjaskes, hasil pemekaran kampus induk di kota karena di kota tentu saja tak ada lahan tersisa untuk bangunan seluas itu.
Jadinya, seperti itu tadi. Jalan di sepanjang desa J benar – benar babak – belur. Tiap hari digilas ban – ban pengangkut pasir, batu, batako dan sebangsanya.
“Sebenarnya kerusakan jalan ini tak sepenuhnya bisa ditimpakan kepada truk – truk itu. Desa kita punya sejarah pembangunan jalan yang bisa dibilang sebuah budaya di mana – mana,” Pak Gloyoh, warga desa J memulai diskusi kecil di depan warung. Udara desa jam siang seperti saat itu memang memaksa hampir setiap penduduk desa menjadi miskin pilihan. Untuk mengurangi kegerahan, hanya ada dua pilihan: nyemplung di tukad desa atau nongkrong di warung yang menjual minuman dingin sambil ngobrol sesama banjaran.
“Nah, terus apa yang bisa disalahkan kalau bukan truk – truk itu, Pak? Kenyataannya kan memang begitu?” teman di sebelah Pak Gloyoh menimpali. Yang lain menjadi pendengar yang baik, sambil meminum esnya, yang lainnya duduk diam. Sebentar menyimak, sebentar tenggelam ke dalam pikirannya masing - masing.
“Ya, coba saja perhatikan berapa usia jalan kita ini. Seingat saya, belum juga lima tahun berlalu, kondisinya sudah banyak yang bolong – bolong. Jalan – jalan lain di luar desa, meski sudah tujuh tahunan tidak diservis, dengan kepadatan yang hampir sama dengan di desa kita, masih kelihatan tidak rusak – rusak amat,” Pak Gloyoh beropini.
“Kalian tahu, kalau zaman penjajahan Jepang dulu jalan – jalan dibangun oleh darah dan keringat. Sekarang, jalan – jalan kita dibangun dengan bahan upil dan daki udel. Asal jadi,” Pak Gloyoh menyambung gusar. Bicaranya bersemangat.
Tidak bisa disalahkan, memang. Dia tiap pagi buta mesti mengantarkan istrinya ke pasar kota, membeli bahan belanjaan untuk dibawa pulang dan dijual kembali. Jadi, tiap hari dia harus berhadapan dengan jalanan brengsek itu.
Melewati jalan desanya kini, Pak Gloyoh sering memaksanya teringat kembali ketika dia pada masa mudanya, pada tahun 80-an menjadi supir truk pengangkut buah di daerah Karangasem, mesti memiliki kesabaran tak terhingga karena harus melewati jalurnya truk – truk pengangkut pasir – pasir dan batu yang diambil dari Galian C. Kondisi jalannya semrawutan, apalagi di wilayah Selat. Siang harinya selain panas, debu – debu mampu membunuh hari – hari indah yang bahkan sudah direncanakan menjelang tidur dan bangun pagi. Hujan ataupun tidak, sama saja menyebalkan. Kalau hujan tanahnya becek dan berlumpur. Tidak hujan, lubang menganga siap menyambut.
“Bukannya pak kades kita sudah merencanakan perbaikan dengan segera, Pak? Ini kan menyangkut kepentingan orang banyak?,” yang di sebelah Pak Gloyoh kembali bertanya.
“Ya, kita disuruh wait and see. Menunggu, sambil melihat onderdil motor dan pick – up- mu pada gundal – gandul. Nyahok.”
“Menurut yang saya dengar, segera setelah kampusnya rampung, jalan – jalan ini segera dibenahi. Akan ada pembebasan tanah di pinggir – pinggir ruas jalan,” yang paling muda di antara mereka menambahi.
“Lah, terus selama kita menunggu waktu itu datang, tak ada yang bisa kita lakukan selain mengeluh dan memaki, begitu? Aku juga mendengar kabar itu, sama seperti saya juga mendengar bahwa harga tanah – tanah di sekitar areal kampus itu menanjak seperti jet tempur. Dari tujuh juta per are menjadi limapuluh lima, bahkan lebih!.””
Well, Pak Gloyoh membawa percakapannya ke level yang lebih tinggi, dan dia makin membara. Dia tak habis mengerti, apa saja yang dilakukan oleh para pemimpinnya. Tidakkah mereka berpikir memasukkan rehabilitsi jalan ke dalam dana cadangan atau biaya tak terduga, bla-bla-bla apalah namanya, hingga tak hanya di desanya saja yang kondisinya sepertinya mengingatkan dia ke masa dahulu kala, saat Indonesia masih dalam penjajahan Belanda?
“Jangan katakan kalian tidak suka uang. Orang sepolos dan senaif Konce saja sejak ada wacana kampus ini menjadi tahu arti kata investasi. Banyak makelar – makelar tanah yang rajin menengok ke area kampus itu. Sebagian dari mereka kembali pulang dengan membawa bukti kepemilikan baru. Pak kepala desa kita, kalian pikir lebih goblok daripada Konce? Bapak kita yang satu ini malah asyik mengurus investasi, booking dan lobbying, ” Pak Gloyoh mengamuk, “Nyesel aku dulu memilih dia! Belum kuhitung lagi, para caleg – caleg yang urat peka sosialnya sudah putus, lebih memilih menggandakan spanduk – spanduk daripada ikut meringankan barang sedikit permasalahan yang nyata di depan mata. Padahal, pemilihan masih jauh, sudah mulai sok aksi! Taik!”
Yang lainnya bengong, tercenung. Ya, menyedihkan tetapi nyata. Mereka juga merasakan payahnya tiap hari harus mengalami yang dialami oleh Pak Gloyoh, perut dikocok – kocok di sepanjang jalan, yang, tentu saja, kocokan di perut ini tidak sama dengan dagelan Srimulat. Yang ini sangat tidak lucu. Sama sekali.
Anak – anak mereka yang bersekolah di kota, apalagi. Senin sampai Sabtu juga tentu ikut bernasib sama. Apalagi buat anak – anak yang rajin ikut kegiatan di luar sekolah, ekskul, atau mau jalan – jalan ke kota sore – sore. Belum lagi bagi mereka yang memiliki mobilitas tinggi, macam Pak Awek, juragan pengampas cemilan dan kerupuk itu, minimal sepuluh kali melewati jalan yang sama ini.
Maka, selepas percakapan kecil di warung itu, warga desa sepakat untuk memakai hak aspirasi mereka, menuju kantor kepala desa, meminta solusi untuk jalanan rusak itu. Pak kades kaget, tak menyangka topik semacam itu bisa hinggap di otak warganya.
“Seyogyanya,” Pak Kades memulai tanggapannya,” jalan kita ini akan diperbaiki segera setelah kampus benar – benar finish. Itu sekitar satu setengah atau dua tahun lagi.”
“Wah, koq bisa selama itu, Pak? Masak kita harus gledag – gledug selama dua tahun ke depan?” seorang warga yang ditokohkan bertanya.
“ Saya hanya mengikuti prosedur dari atas, Saudara – saudara. Kesepakatan dengan pihak kampus memang seperti itu. Toh, pihak kampus sudah pernah, kan, melakukan tindakan perbaikan, menambal lubang – lubang di jalan waktu ini?”
“Ya, Pak... Tapi yang dipakai menambal hanya campuran pasir dan semen kadar rendah. Hanya bertahan seminggu. Kesannya asal – asalan. Lebih baik tidak ditambal saja sekalian. Kerja mereka malah menambah masalah baru di jalan: Macet!”
Ampun! Pak kades pusing sendiri. Sabar lagi sedikit, kenapa? Dasar penduduk tak tahu arti miasa, menahan diri!
“Ya sudah,” pak kades mencoba mengembalikan wibawa suaranya,” terus, setelah saya katakan duduk perkaranya tadi seperti itu, apakah ada usul dari Saudara – saudara?”
Seorang warga angkat bicara,” Mohon cari lagi kemungkinan bantuan dari pihak kampus, Pak!”
“Anda tahu itu nyaris tak mungkin. Kesepakatan telah ditandatangani di atas kertas.”
Ya, kertas! Sekarang kita dikalahkan oleh selembar kertas 70 gram!
“Setidaknya Bapak bisa menyampaikan kepada siapapun yang berwenang tentang kondisi di lapangan, Pak! Katakan bahwa jalan – jalan kita rusak karena truk – truk pengangkut material kampus itu. Mungkin, mereka akan mengerti jika Bapak sedikit lebih lincah.”
Kata ‘sedikit lebih lincah’ ini jelas menohok harga – diri Pak Kades. Tapi dia masih bisa menahan diri. Di lain sisi, para warga desa makin ambhrol juga pertahanannya. Makin bernafsu menyampaikan keluhan dan rasa gregetan mereka akan situasi.
Pak kades mengalah. Lalu di dalam diskusi yang alot bak Sidang Paripurna di Senayan sana, dicapailah kesepakatan untuk memperbaiki jalan – jalan bobrok itu mulai keesokan harinya. Dananya diambil dari swadaya masyarakat. Para penduduk kebanyakan memaki, mencak – mencak. Ingin perbaikan, dengan biaya minim. Ingin perubahan, finansial tetap tak terganggu.
Warga yang kaya – raya tetap kalem. Menyumbangkan uangnya tanpa banyak bertanya. Yang bergelar kumat kritisnya. Keputusan ini kurang begini dan begitu. Di dalam hati, mereka sebenarnya juga gusar dengan kondisi jalan itu, tapi mereka mesti mengeluarkan tanggapan dan opini sedikit saja. Mereka perlu menunjukkan itu, agar kecerdasan mereka tidak memudar terbawa arus sungai desa.
Sungai di desa J rada gila. Banyak tai-nya. Anda tahu tai? Tai itu tinja, tinja itu berak, hajat hidup orang banyak. Bule – bule bilang tai itu ‘fuck and shit’. Dan, jalanan di desa J memang semenyebalkan fuck and shit.
Tapi tak mengapalah. Sebentar lagi beban menyebalkannya akan sedikit diringankan. Para pekerja bangunan di desa bersemangat mengangkut pasir kali, batu – batu kancing dan semen. Yang lainnya sigap mengaduk – aduk bahan – bahan itu menjadi campuran beton kelas menengah. Ini jelas bukan hot mix seperti yang dijanji – janjikan Pak Kades, menyambung corong pemberitahuan kampus. Tapi, okelah, lebih baik menang tipis daripada dikalahkan telak oleh jalan sontoloyo ini, begitulah pikir warga desa.
Kaum ‘intelektual’ desa juga urun opini, mengkritisi proses rehabilitasi dadakan itu. Bagi mereka, masalah jalanan desa ini adalah sama artinya dengan kolom surat pembaca di media – media massa, tempat nama – nama mereka bisa terpajang, meski terkadang rela saling sikut dan tonjok – tonjokan. Warga desa J tak merasa terganggu. Entahlah, apakah mereka menarik manfaat dari perkataan mereka, ataukah saking lamanya mereka mendengarkan mereka berbicara tanpa jeda menjadikan mereka kebal kata – kata. Atau, mungkin mereka seperti berada di ruang pengap terlalu lama, sehingga lama – lama mulai menikmati kepengapan itu, sehingga lupa dengan adanya udara segar di luar sana.
Pak Gloyoh kala itu tak secerewet biasanya. “Biarlah kerja mulutku digantikan sekarang oleh tanganku,” begitu katanya. Dia ikut turun ke jalan, seperti demonstran yang kali ini di hadapan ketimpangan bertindak efektif.
Di sela – sela isirahatnya, Pak Gloyoh berkata kepada Konce,” Sebenarnya desa kita cukup pinter. Buktinya banyak sarjana – sarjana jebolan universitas – universitas bonafid berasal dari sini. Kau tahu Si Koyok, Si Bocah Ajaib itu? Dia itu Jebolan ITB, lho! Tapi kok, masalah beginian aja kita sudah klenger? Macam negara kita saja, dipimpin sama Ratu Adil dan Satrio Piningit tetap saja kelimpang – kelimpung”.
“Uang untuk rehab jalan dijadikan mainan sama yang ngurus jalan, mungkin begitu. Padahal jalan adalah salah satu syarat mutlak agar pasar bisa berjalan dengan lancar,” Pak Gloyoh Melanjutkan sambil menatap Pak Konce yang sedang berjongkok di sebelahnya, berendam di air sungai desa. Yah, cuaca lagi panas, enggak ketulungan. Uang lagi melompong, tidak bisa membeli es di warung. Terpaksa ke sungai.
“Betul itu, Pak Gloyoh.... Eeekkk...!”
“Jadi itu tadi, yang bagian menghadap kepada Pak Kades sampai realisasi perbaikannya adalah ide saya demi kelancaran roda ekonomi kita ke depan, Pak Konce. Alangkah baiknya kita mewujudkannya, agar tidak tertinggal hanya mimpi.”
Oh, ternyata tak pernah ada demo tentang jalanan... Itu masih berupa rekaan Pak Gloyoh. Tapi siapa tahu suatu saat nanti bisa menjadi masterplan.
“Saya rasa... eekkk... itu sesuatu yang muluk – muluk, Pak Gloyoh.”
“Muluk – muluk bagaimana maksudmu?”
“Yaa... tahulah bagaimana karakter sebagian besar orang – orang di sekitar kita ini, Pak... eekk...”
“Hmm... aku mengerti. Harus diakui, orang – orang kita kebanyakan tidak mau repot, menganggap banyak kepentingan bersama sebagai bukan urusannya dan membiarkan saja apa yang terjadi sekarang seperti ini, sampai bantuan itu datang.”
“Heeehhk... iya, Pak Gloyohaa....”
“Kau tahu, Pak Konce, tanpa kita sadari kita semakin terperosok ke dalam kebiasaan apatis? Yang di atas tak perduli kepada jalan kita karena mereka tak pernah melewati sendiri jalan ini. Jadinya, perbaikan dilakukan begitu mereka ada kepentingan untuk sering – sering keluyuran ke sini ; menengok rumah kaplingan, misalnya,”
“Heee – ekh...”
“ Kita juga di sini apatis, mau saja menunggu seperti kerbau kena santet, tanpa mau memastikan kapan perbaikan jalan akan dilakukan. Aku jadi curiga, jangan – jangan perbaikan dilakukan tahun depan, ketika para caleg berebut simpati massa, dan orang – orang kita yang pada dasarnya memang selalu dibutakan oleh uang mau saja meneken kontrak perbaikan jalan. Caleg haus suara itu lalu mengingatkan bahwa dia-lah yang memegang andil di dalam perubahan besar itu! Huh, tak sudi, aku!” Pak Gloyoh kembali terbakar.
“Heeeee....ehh.... Heeee....hh...”
“Kamu ini kenapa sih? Dari tadi diajak ngomong ‘ha-ah he-eh’ saja?”
“.....Maaf, Pak Gloyoh.... Saya lagi berak!”
“Fuck and shit!”

28 Juni 2011
02:32 A.M.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...